Sabtu, 19 Mei 2012

Black Rose Part 1


Black Rose
Part 1 : Anxiousness


Biarrois, 18 Juni 1402
Untuk yang terkasih... Black Saychou.

Black, sayangku… Kini aku akan kembali dari kota yang kurang menyenangkan ini. Aku akan kembali ke kota Vollaide lagi. Sungguh aku bahagia tak terkira dapat kembali ke kota yang amat banyak kenangan tersembat di dalamnya. Black, akankah engkau masih menungguku di dekat monumen Keraveil di pinggir kota? Sungguh, jika engkau masih ada di sana aku akan benar-benar menjadi seorang wanita yang bahagia karena engkau, Bla, tetap menungguku.

Kira Maafkan aku sayang aku tiada berdaya dengan tekanan waktu ini, aku harus cepat-cepat menuliskan surat ini, aku dikejar waktu. Jujurlah kiranya aku menuliskan surat ini di atas kereta kuda yang sudah menjemputku kutunggangi, kiranya hanya sekitar sepuluh menit aku menulis surat ini karena aku akan menaiki kapal laut untuk menemui kekasihku yang sangat aku rindukan,sampai hingga saat ini.

Sekian kutulis surat ini sayang, ingat untuk tetap menunggu diriku di monumen Keraveil. Mungkin surat ini akan lebih dulu datang daripada keberadaan ragaku di sana. Mungkin aku akan sampai lebih kurang 10 hari dari saat aku menulis surat ini.

Dengan penuh cinta,
Clara Rose
Clara Rose.


Mungkin itu adalah surat yang aku kirimkan kepada kekasihku Saychou, surat yang kutulis dengan penuh cemas, khawatir, dan perasaan gugup ketika menuliskannya. Dan aku ingat dengan sangat jelas bahwa tulisannya ada beberapa yang kucoret, yang akan menggambarkan bagaimana cemasnya diriku untuk menulisnya, apalagi ketika aku menitipkannya pada paman Tolluce yang lebih dulu berangkat untuk mengantarkan suratku.
Satu minggu  telah terlewati di kapal laut tua ini. Aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan Saychou. Siang-malam aku lewati tanpa tidur nyenyak dan terombang ambing di lautan yang lepas. Aku sudah tidak bisa lagi mengistirahatkan otakku secara penuh seperti biasanya, mungkin karena pengaruh ombak laut yang besar dan sempat terkena badai.
Aku dan kedua orang tuaku menaiki kapal laut yang sudah cukup berumur dan biasanya untuk mengangkut barang-barang dagangan dari pelabuhan Bourjk ke pelabuhan Newast, dekat dengan daerah Biarrois. Kapal laut ini bernama el Machevoir. Entahlah, nama macam apa itu untuk sebuah kapal? Tapi aku tak peduli, yang penting sekarang aku harus bisa selamat menuju pelabuhan Newast dan kembali ke kotaku, yang amat kucinta, amat kurindukan, Vollaide. Tempat dimana aku akan bertemu dirinya, yang kukasihi, dirinya yang aku sangat sukai, dan dirinya yang sangat aku cintai.
Ini mungkin terdengar sedikit menyakitkan, tapi aku dan Black tidak direstui kedua orang tuaku. Mereka malah menjodohkan aku dengan seorang dari Kota Biarrois bernama Pierre. Ketika mengenalnyapun aku sudah tak suka, memikirkannya saja aku muak. Lelaki yang terlalu tinggi akan ucapannya, orang yang terlalu menyombongkan segala kekuasaan dan jabatannya, hanya seperti seekor lalat yang harus disingkirkan. Aku juga tidak peduli dengan Pierre, aku hanya ingin bersama Black. Mungkin aku akan mendapatkan sesuatu yang istimewa jika aku memikirkan Black, setidaknya mungkin mimpi manis diatas el Machevoir. Tapi tidur pun bahkan sulit untuk aku lakukan, aku ingin memimpikannya sekali saja, keinginan hatiku begitu kuat untuk menemuinya nanti di Vollaide.
“huft, kapankah kapal ini akan sampai?” Aku bergumam sendirian tak karuan. Kulihat sekeliling kabinku, tumpukan kayu di lantai, dinding, serta langit-langit yang berwana coklat tua. Ruangan yang terus berayun bagaikan sebuah ayunan raksasa, dan bau air laut yang sangat tajam tercium dari jendela kamar dan pintu. Hanya ada sebuah kasur di sebelah kanan dan kiri dari pintu yang ada di tengah. Meskipun mirip dengan kasur para tawanan aku sudah tak peduli dengan apa yang ada di kamar ini, meskipun hanya ada sebatang lilin yang akan terus menemaniku sampai dia habis terbakar.
Sayup-sayup terdengar suara ombak dari luar, mungkin ombaknya tidak begitu besar dilihat dari ayunan kapal dan dari suara yang aku dengar.
TOK TOK TOK!
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kayu dari luar, aku yang sedang melamun seketika langsung buyar oleh suara asing tersebut. “Si, Siapa itu?” kataku sedikit pelan dan tergagap. “Clara sayang, ini ibu.” Aku bernafas lega mendengar bahwa yang ada di balik pintu itu adalah ibuku. Aku pun berdiri dan merapikan gaun biru mudaku, roknya ku singkapkan sedikit guna aku bisa berjalan dengan lebih leluasa. “Iya ibu, sebentar, aku akan membukakan pintunya.” Aku bangun dari ranjangku dan melangkah menuju pintu agar dapat membukakan pintunya.
Setelah aku membuka pintu ibuku terlihat sedikit gusar. Rambut putihnya yang panjang ia ikat melingkar ke atas kepala dan ditutupinya dengan penutup kepala berbahan rajutan berwarna merah marun. Matanya yang kelabu menatapku sedikit tajam bagaikan menyisir dengan pisau cukur. Tangan kanannya yang membawa lilin menjadikan ibuku sedikit terkesan menakutkan. Gaun hijau mudanya ia singkap dan mulai melangkah masuk ke kamarku. Aku hanya tertunduk dan melihat ke bawah, seraya ibuku mengambil langkah dan duduk di ranjangku.
“Anakku, kenapa malam begini kau enggan tidur? Sudah malam, tidak baik untuk kesehatanmu!” katanya sedikit membentak.
“Entahlah ibu. Aku memang sudah sangat lelah, namun mataku ini enggan menutup.” Kataku pelan. Ibupun menyimpan lilin di atas laci meja.  Ibu bangun dan kemudian ia menepuk atas ranjang sebelah kiri pintu berisyarat aku harus tidur di sana sesegera mungkin. Aku yang memang menurut pada ibuku langsung berjalan menuju kasur itu. Perlahan-lahan aku memakai selimutku dan terus menerus kutarik hingga dada. Aku hanya bisa melihat wajah ibuku yang tersenyum kecil pertanda dia puas.  Ibu kembali membawa lilinnya mencium keningku. “selamat malam, bidadari kecilku.” Ucapnya lembut lalu dengan sedikit parau kubalas kata-katanya “selamat malam ibuku sayang.” Ia pun mulai mengangkat rok nya dan pergi keluar kamarku, tak lupa ia menutup pintunya. Meski gelap aku masih bisa melihat keadaan kamarku sedikit, cahaya yang berasal dari jendela luar yang berasal dari lentera di luar.
Aku mencoba menutup mataku, namun aku selalu membayangkan Saychou. Berkali-kali kucoba dan tetap saja gagal. Mulutku menguap lebar tanda aku sudah mengantuk, tapi mataku tidak ingin tertidur. Akhirnya akupun meminum beberapa tenggak wiski yang aku simpan di kopor ku.  Mungkin benda itu bisa mengantarku ke suasana kantuk yang dapat menenangkan pikiran. Aku tetap tak bisa tertidur ketika berada di kapal. Rasa was-was dan hal yang banyak membuat beban pikiranku memuncak, adalah jika Saychou tidak menungguku, padahal besok pagi kami tiba di Newast.
Aku sudah bisa membayangkan bagaimana berada di Newast pagi hari, penuh dengan para warga yang berbondong-bondong pulang dari melaut. Seteguk demi seteguk ku minum wiski ku, akupun mulai merasa mengantuk. Dan akhirnya akupun terkulai lemas di tempat tidur. Dan merasa sangat tenang saat mengantuk dan tidur.
Kemudian tak lama aku bermimpi, mimpi yang sangat janggal. Berawal aku ada di sebuah kapal el Machevoir, perlahan lahan aku ada di dermaga dan bersiap untuk turun.  Kapalnya mulai berlabuh dan aku terus menunggu hingga kapal itu benar-benar merapat ke dermaga. Tapi hanya jarak beberapa meter dari dermaga, tiba-tiba ombak besar datang dari arah belakang, dengan awan gelap mengikutinya, melontarkan kapal yang kutumpangi dan akhirnya kami semua tenggelam. Tapi ombak besar itu juga melemparkanku hingga ke pesisir pantai. Aku tak tahu di mana itu, tapi kulihat sosok seorang lelaki yang berdiri di dekat pohon kelapa.
Dengan terseok-seok dan basah kuyup ku angkat gaun putih panjangku dengan pandangan sedikit kabur akupun berusaha menggapai orang itu, sesosok laki-laki berambut pirang panjang di ikat seperti ekor kuda. Ketika aku akan menggapainya, lelaki itu berbalik dengan wajah yang sangat menakutkan. Aku terkejut dan jatuh ke gundukan pasir putih basah yang sehabis terkena ombak.
Matanya berwarna merah menyala bagaikan warna batu rubi dengan sedikit darah keluar dari matanya, wajahnya pucat dan mulutnya robek penuh darah dari telinga kanan ke telinga kiri. Rambutnya satu persatu rontok ketika dia mencoba melangkah dan mendekati diriku. Dia hanya berkata satu kata, “Black”. Dan aku pun langsung terperanjat dari mimpiku yang sangat aneh. Mimpi buruk, itu pasti mimpi buruk!
Mataku perlahan terbuka, aku masih di el Machevoir. Aku bermandikan keringat dingin karena mimpiku tadi, nafasku terengah-engah dan detak jantungku tak karuan.  Aku coba mengusap keringat di keningku dengan punggung tangan, dan terus-menerus menarik nafas panjang agar aku bisa tenang dan melupakan mimpi tadi. Akhirnya aku sadari ini sudah pagi, terlihat dari jendela kabinku, matahari mulai bercahaya di ufuk timur. Ku coba ingat mimpi buruk tadi, mengapa dia mengatakan kata “Black”? Apa artinya “Black” di mimpi itu?
Sambil terdiam dan penuh tanya, aku seraya bangkit dari ranjangku dan menempelkan kakiku di lantai kayu yang tergoyang oleh ombak.  Selangkah demi selangkah aku bangkit dari ranjang dan aku mulai melangkang sedikit terhuyung menuju ruangan wastafel. Sambil mataku masih sedikit berkabut aku jalan sembari meraba-raba dinding lorong dek kapal. Ayunan kapal semakin membuatku terus meraba-raba dinding kayu ini. Tak sampai tiga puluh  langkah aku sampai ke ruangan wastafel. Airnya masih menetes sedikit. Aku mulai memegang sisi wastafel dari keramik putih itu. Bentuknya sebagaimana wastafel pada umumnya, hanya saja sedikit kotor dan tak terawat. Di atasnya tergantung cermin yang cukup besar berukirkan ular. Aku membuka kran wastafel itu air segar keluar dan aku tamping itu dengan kedua tanganku. Sedikit- demi sedikit aku mengusap  mukaku, tetesan air yang segar itupun membangunkan aku kembali dari rasa kantuk yang masih terbawa setelah tidur.
Aku mengelap dengan handuk berwarna putih yang tergantung di sebelah kananku, ku ambil handuk kecil itu dan kucoba keringkan wajahku tadi. Begitu segar rasanya meski mungkin aku masih sedikit sakit kepala, mungkin akibat minum wiski tadi malam. Aku tak peduli. Akhirnya aku kembali ke kamarku, karena hari ini kapal akan merapat di pelabuhan. Aku harus mengganti pakaianku dengan pakaian rapi, tentu saja ibuku pasti akan sangat marah jika aku melakukan sedikit saja kesalahan terhadap cara berpakaianku.
 Aku pun membuka kopor yang berisikan semua pakaianku, bentuknya yang seperti peti tua, dan sedikit lecet di sana sini. Aku mengeluarkan baju kesanyanganku yang biasa aku pakai bila bertemu dengan Black. Ny. Madelline yang telah membuatkan gaun indah ini, penjahit langganan ibuku. Roknya berwarna hitam dengan motif bunga mawar berwarna merah menyala, bagian belakangnya terlapis hijau dari kain saten dan berenda warna emas. Jelujur pita di belakangnya juga berwarna hijau, dengan pita emas yang menggikutinya panjangnya lebih dari tubuhku hingga menyapu lantai. Bagian atasnya berwarna putih dengan rompi merah berlapis brookat hitam timbul, bagian depannya berwarna putih polos berbahan sutra, dengan lipatan pita dan memanjang bank rantai dari bagian yang menutup leher hingga bagian perut.  Baju yang sungguh indah.
Baju itu aku gantungkan di pinggir kaca dan akhirnya aku mulai memasang dalaman dan korsetku, dengan bawahan gaun berbahankan tile berwarna putih, aku tak bisa melakukan ini sendirian tentu saja aku harus  meminta bantuan maidku. Entahlah apa dia sudah bangun atau belum.
“Anne!.. Anne!!” teriakku sedikit lembut. Aku pikir dia tidak akan mendengar, tapi rupanya dia datang dengan cepat langsung membuka pintunya tanpa aku suruh. “Iya nona Clara, ada perlu dengan diri saya?” ucapnya dengan nafas berat.
“Maaf merepotkanmu Anne, aku butuh kau untuk membantuku memasang korsetku. Tapi aku minta, uh.. jangan terlalu ketat, pinggang dan dadaku sudah sakit sekali.” Ucapku lembut padanya. “Tentu nona Clara! Akan saya lakukan”.
Anne mengambil korset dan talinya lalu memasangkan benda itu ke badanku, aku berpegang pada palang kayu di kamarku untuk menahan tarikannya. Dia mulai memasukan tali ke lubang korsetnya dan mulai menariknya sedikit demi sedikit. Semakin ketat, semakin ketat, dan semakin ketat. Aku berusaha bernafas semampuku. Setelah dipasang selama lebih dari 25 menit aku siap memasang gaunku.
Anne mengambil gaun yang sudah kukeluarkan dari kopor. Dia mengambilnya lembut, dia pisahkan bagian bawah dan bagian atasnya, dia memberikan bagian bawahnya terlebih dahulu. Aku pakai, dilanjutkan dengan bagian atasan, dan berakhir di bagian kain luar bawahan dan rompi merah.  Kukancingkan satu per satu hingga selsai. Anne yang tetap membantuku memakaikan baju, dan merapikannya. Akupun duduk di kaca dekat kasurku, sembari Anne menyisir  rambutku dan aku memakai bedak. Anne pun berkata padaku , “Nona, hari ini kita tiba di Newast. Apakah kita akan langsung ke Vollaide ataukah kita berbelanja dulu di pelabuhan?”  Sembari tetap menyisir rambut putihku yang panjang. Aku tersenyum kecil pada Anne dan menjawabnya, “Entahlah Anne, itu sulit diputuskan.” Sambil merapikan penampilanku.
“Maksud Nona Clara?”
“Ya, keinginan ibu itu sulit ditebak. Sebentar beliau ingin berbelanja, sebentar beliau ingin pulang. Begitulah Nyonya besar Anne.” Jawabku.
“Benar nona Clara, Nyonya Rose sangat sulit ditebak.” Dengan sedikit tertawa Anne menjawabnya.,
“Yang aku khawatirkan Anne, jika dia tetap  memaksaku menikah dengan pria yang bernama Pierre itu. Aku tak cinta padanya, aku malah jijik terhadapnya yang selalu menyombongkan kekayaan dan jabatan, Anne!” sedikit keras aku menjawabnya. Anne tetap menyisir rambutku. Tapi tiba-tiba gerakannya terhenti sejenak. Aku langsung melirik ke arahnya yang berada di sebelah kiriku.  Anne tersenyum kecil dan menatapku sesaat, ia melanjutkan kembali kegiatan menyisir rambutku. Kemudian dia berkata dengan nada yang amat lembut “Nona, memang mungkin harta memiliki banyak kekuasaan. Namun ingatlah, harta tidak akan bisa membeli hal yang bernama kasih sayang dan cinta.” Dia menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan sisir berwarna emas itu di atas meja riasku. Tepat di depanku.
“Kau sudah cantik nona Rose. Kapal akan merapat sebentar lagi, haruskah hamba membereskan baju-baju ini?”  Sambil menunjuk baju yang berada di atas kasurku dan di atas kopor, memang sedikit berantakan, karena aku memang orang yang terlalu malas untuk melakukan itu.  Aku berdiri dari dudukku, dan aku merapikan gaunku, seraya aku berjalan mendekati Anne. “Itu terserah denganmu Anne. Mungkin masukanlah itu ke kopor, aku akan mencucinya bersamamu besok setibanya di rumah.”
Anne terlihat sibuk melipat rapi gaunku, aku hanya bisa merapikan ranjang tempat aku tidur semalam. Aku yang masih bertelanjang kaki tetap merapikannya. Tiba-tiba derap langkah kaki, seperti selop kayu yang sangat keras menghampiri kamarku, ibunda. Dia datang dengan gaun berwarna ungu tua. Kain sutra yang dibalut dengan kain sifon transparan, roknya menjuntai hingga menyapu lantai dengan warna senada. Sepatunya terbuat dari kayu mahoni yang sangat indah ukirannya, dan rambutnya di ikat kebelakang hingga memuncak tinggi dengan hiasan bulu merak di sebelah kanan kepalanya. Ibuku bagai seorang ratu yang sangat berwibawa, padahal kami hanya bangsawan biasa.
“Clara, sebentar lagi kita sampai. Anne bawakan kopornya menuju depan dek utama, kita akan keluar dari kapal busuk ini!” nadanya sinis. Aku langsung membungkuk dan mencari sepatu ku yang sama persis dengan yang digunakan ibu tadi. Ada di bawah ranjang tempatku tidur semalam, ku panjangkan lenganku ke kolong ranjang, dan aku menemukannya masih bersih dan tak berdebu sedikitpun. Kupakai selop itu dan memasang korsase bunga mawar pemberian almarhum ayahku Camelon Rose. Aku akhirnya siap menuju keluar dari kamarku, Anne membawa koporku dengan menariknya dari sisi kanan, dan ia terus membawa koporku, hingga aku tak melihatnya di lorong depan kamarku.
Aku keluar dari kamarku dana aku menutup pintu kamarku. Aku berjalan lurus melewati lorong menuju deck utama keluar dari kapal. Ada beberapa anak tangga yang akan kami lewati saat akan keluar dari kapal.
Beberapa menit aku melihat para kuli angkut keluar dan bekerja mengangkat barang. Pakaiannya lusuh dan rata-rata berwarna putih kusam. Celananya pendek berbahan kulit, dan hanya menggunakan sandal.  Lari kesana kemari, dan terus mengangkut barang dan peti kemas. Aku dan ibuku menunggu di depan pintu keluar, kapal ini mulai tidak banyak bergoyang lagi. Seorang kru kapal membuka pintu nya dan kami dapat melihat pemandangan Pelabuhan Newast dari sini. Aku tak sabar dapat merasakan jalan di tanah .
 PART 1 END

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

Posting Komentar