Black Rose
Part 1 : Anxiousness
Biarrois, 18 Juni 1402
Untuk yang terkasih... Black Saychou.
Black, sayangku… Kini aku akan kembali dari kota yang kurang
menyenangkan ini. Aku akan kembali ke kota Vollaide lagi. Sungguh aku bahagia
tak terkira dapat kembali ke kota yang amat banyak kenangan tersembat di
dalamnya. Black, akankah engkau masih menungguku di dekat monumen Keraveil di
pinggir kota? Sungguh, jika engkau masih ada di sana aku akan benar-benar
menjadi seorang wanita yang bahagia karena engkau, Bla, tetap
menungguku.
Sekian kutulis surat ini sayang, ingat untuk tetap menunggu diriku
di monumen Keraveil. Mungkin surat ini akan lebih dulu datang daripada keberadaan
ragaku di sana. Mungkin aku akan sampai lebih kurang 10 hari dari saat aku
menulis surat ini.
Dengan penuh cinta,
Clara Rose
Clara Rose.
Mungkin itu adalah
surat yang aku kirimkan kepada kekasihku Saychou, surat yang kutulis dengan
penuh cemas, khawatir, dan perasaan gugup ketika menuliskannya. Dan aku ingat
dengan sangat jelas bahwa tulisannya ada beberapa yang kucoret, yang akan
menggambarkan bagaimana cemasnya diriku untuk menulisnya, apalagi ketika aku
menitipkannya pada paman Tolluce yang lebih dulu berangkat untuk mengantarkan
suratku.
Satu minggu telah terlewati di kapal laut tua ini. Aku
sudah tak sabar ingin bertemu dengan Saychou. Siang-malam aku lewati tanpa
tidur nyenyak dan terombang ambing di lautan yang lepas. Aku sudah tidak bisa
lagi mengistirahatkan otakku secara penuh seperti biasanya, mungkin karena pengaruh
ombak laut yang besar dan sempat terkena badai.
Aku dan kedua
orang tuaku menaiki kapal laut yang sudah cukup berumur dan biasanya untuk
mengangkut barang-barang dagangan dari pelabuhan Bourjk ke pelabuhan Newast,
dekat dengan daerah Biarrois. Kapal laut ini bernama el Machevoir. Entahlah,
nama macam apa itu untuk sebuah kapal? Tapi aku tak peduli, yang penting
sekarang aku harus bisa selamat menuju pelabuhan Newast dan kembali ke kotaku,
yang amat kucinta, amat kurindukan, Vollaide. Tempat dimana aku akan bertemu
dirinya, yang kukasihi, dirinya yang aku sangat sukai, dan dirinya yang sangat
aku cintai.
Ini mungkin
terdengar sedikit menyakitkan, tapi aku dan Black tidak direstui kedua orang
tuaku. Mereka malah menjodohkan aku dengan seorang dari Kota Biarrois bernama
Pierre. Ketika mengenalnyapun aku sudah tak suka, memikirkannya saja aku muak. Lelaki
yang terlalu tinggi akan ucapannya, orang yang terlalu menyombongkan segala
kekuasaan dan jabatannya, hanya seperti seekor lalat yang harus disingkirkan. Aku
juga tidak peduli dengan Pierre, aku hanya ingin bersama Black. Mungkin aku
akan mendapatkan sesuatu yang istimewa jika aku memikirkan Black, setidaknya
mungkin mimpi manis diatas el Machevoir. Tapi tidur pun bahkan sulit untuk aku
lakukan, aku ingin memimpikannya sekali saja, keinginan hatiku begitu kuat
untuk menemuinya nanti di Vollaide.
“huft, kapankah
kapal ini akan sampai?” Aku bergumam sendirian tak karuan. Kulihat sekeliling
kabinku, tumpukan kayu di lantai, dinding, serta langit-langit yang berwana
coklat tua. Ruangan yang terus berayun bagaikan sebuah ayunan raksasa, dan bau
air laut yang sangat tajam tercium dari jendela kamar dan pintu. Hanya ada
sebuah kasur di sebelah kanan dan kiri dari pintu yang ada di tengah. Meskipun
mirip dengan kasur para tawanan aku sudah tak peduli dengan apa yang ada di
kamar ini, meskipun hanya ada sebatang lilin yang akan terus menemaniku sampai
dia habis terbakar.
Sayup-sayup
terdengar suara ombak dari luar, mungkin ombaknya tidak begitu besar dilihat
dari ayunan kapal dan dari suara yang aku dengar.
TOK TOK TOK!
Tiba-tiba
terdengar suara ketukan pintu kayu dari luar, aku yang sedang melamun seketika
langsung buyar oleh suara asing tersebut. “Si, Siapa itu?” kataku sedikit pelan
dan tergagap. “Clara sayang, ini ibu.” Aku bernafas lega mendengar bahwa yang
ada di balik pintu itu adalah ibuku. Aku pun berdiri dan merapikan gaun biru
mudaku, roknya ku singkapkan sedikit guna aku bisa berjalan dengan lebih
leluasa. “Iya ibu, sebentar, aku akan membukakan pintunya.” Aku bangun dari
ranjangku dan melangkah menuju pintu agar dapat membukakan pintunya.
Setelah aku
membuka pintu ibuku terlihat sedikit gusar. Rambut putihnya yang panjang ia
ikat melingkar ke atas kepala dan ditutupinya dengan penutup kepala berbahan
rajutan berwarna merah marun. Matanya yang kelabu menatapku sedikit tajam
bagaikan menyisir dengan pisau cukur. Tangan kanannya yang membawa lilin
menjadikan ibuku sedikit terkesan menakutkan. Gaun hijau mudanya ia singkap dan
mulai melangkah masuk ke kamarku. Aku hanya tertunduk dan melihat ke bawah,
seraya ibuku mengambil langkah dan duduk di ranjangku.
“Anakku, kenapa
malam begini kau enggan tidur? Sudah malam, tidak baik untuk kesehatanmu!”
katanya sedikit membentak.
“Entahlah ibu. Aku
memang sudah sangat lelah, namun mataku ini enggan menutup.” Kataku pelan.
Ibupun menyimpan lilin di atas laci meja.
Ibu bangun dan kemudian ia menepuk atas ranjang sebelah kiri pintu
berisyarat aku harus tidur di sana sesegera mungkin. Aku yang memang menurut
pada ibuku langsung berjalan menuju kasur itu. Perlahan-lahan aku memakai
selimutku dan terus menerus kutarik hingga dada. Aku hanya bisa melihat wajah
ibuku yang tersenyum kecil pertanda dia puas.
Ibu kembali membawa lilinnya mencium keningku. “selamat malam, bidadari
kecilku.” Ucapnya lembut lalu dengan sedikit parau kubalas kata-katanya “selamat
malam ibuku sayang.” Ia pun mulai mengangkat rok nya dan pergi keluar kamarku,
tak lupa ia menutup pintunya. Meski gelap aku masih bisa melihat keadaan
kamarku sedikit, cahaya yang berasal dari jendela luar yang berasal dari
lentera di luar.
Aku mencoba
menutup mataku, namun aku selalu membayangkan Saychou. Berkali-kali kucoba dan
tetap saja gagal. Mulutku menguap lebar tanda aku sudah mengantuk, tapi mataku
tidak ingin tertidur. Akhirnya akupun meminum beberapa tenggak wiski yang aku
simpan di kopor ku. Mungkin benda itu
bisa mengantarku ke suasana kantuk yang dapat menenangkan pikiran. Aku tetap
tak bisa tertidur ketika berada di kapal. Rasa was-was dan hal yang banyak membuat
beban pikiranku memuncak, adalah jika Saychou tidak menungguku, padahal besok
pagi kami tiba di Newast.
Aku sudah bisa
membayangkan bagaimana berada di Newast pagi hari, penuh dengan para warga yang
berbondong-bondong pulang dari melaut. Seteguk demi seteguk ku minum wiski ku,
akupun mulai merasa mengantuk. Dan akhirnya akupun terkulai lemas di tempat
tidur. Dan merasa sangat tenang saat mengantuk dan tidur.
Kemudian tak lama
aku bermimpi, mimpi yang sangat janggal. Berawal aku ada di sebuah kapal el Machevoir,
perlahan lahan aku ada di dermaga dan bersiap untuk turun. Kapalnya mulai berlabuh dan aku terus
menunggu hingga kapal itu benar-benar merapat ke dermaga. Tapi hanya jarak
beberapa meter dari dermaga, tiba-tiba ombak besar datang dari arah belakang,
dengan awan gelap mengikutinya, melontarkan kapal yang kutumpangi dan akhirnya
kami semua tenggelam. Tapi ombak besar itu juga melemparkanku hingga ke pesisir
pantai. Aku tak tahu di mana itu, tapi kulihat sosok seorang lelaki yang
berdiri di dekat pohon kelapa.
Dengan
terseok-seok dan basah kuyup ku angkat gaun putih panjangku dengan pandangan
sedikit kabur akupun berusaha menggapai orang itu, sesosok laki-laki berambut
pirang panjang di ikat seperti ekor kuda. Ketika aku akan menggapainya, lelaki
itu berbalik dengan wajah yang sangat menakutkan. Aku terkejut dan jatuh ke
gundukan pasir putih basah yang sehabis terkena ombak.
Matanya berwarna
merah menyala bagaikan warna batu rubi dengan sedikit darah keluar dari
matanya, wajahnya pucat dan mulutnya robek penuh darah dari telinga kanan ke
telinga kiri. Rambutnya satu persatu rontok ketika dia mencoba melangkah dan
mendekati diriku. Dia hanya berkata satu kata, “Black”. Dan aku pun langsung
terperanjat dari mimpiku yang sangat aneh. Mimpi buruk, itu pasti mimpi buruk!
Mataku perlahan
terbuka, aku masih di el Machevoir. Aku bermandikan keringat dingin karena
mimpiku tadi, nafasku terengah-engah dan detak jantungku tak karuan. Aku coba mengusap keringat di keningku dengan
punggung tangan, dan terus-menerus menarik nafas panjang agar aku bisa tenang
dan melupakan mimpi tadi. Akhirnya aku sadari ini sudah pagi, terlihat dari jendela
kabinku, matahari mulai bercahaya di ufuk timur. Ku coba ingat mimpi buruk
tadi, mengapa dia mengatakan kata “Black”? Apa artinya “Black” di mimpi itu?
Sambil terdiam dan
penuh tanya, aku seraya bangkit dari ranjangku dan menempelkan kakiku di lantai
kayu yang tergoyang oleh ombak. Selangkah
demi selangkah aku bangkit dari ranjang dan aku mulai melangkang sedikit
terhuyung menuju ruangan wastafel. Sambil mataku masih sedikit berkabut aku
jalan sembari meraba-raba dinding lorong dek kapal. Ayunan kapal semakin
membuatku terus meraba-raba dinding kayu ini. Tak sampai tiga puluh langkah aku sampai ke ruangan wastafel. Airnya
masih menetes sedikit. Aku mulai memegang sisi wastafel dari keramik putih itu.
Bentuknya sebagaimana wastafel pada umumnya, hanya saja sedikit kotor dan tak terawat.
Di atasnya tergantung cermin yang cukup besar berukirkan ular. Aku membuka kran
wastafel itu air segar keluar dan aku tamping itu dengan kedua tanganku. Sedikit-
demi sedikit aku mengusap mukaku,
tetesan air yang segar itupun membangunkan aku kembali dari rasa kantuk yang
masih terbawa setelah tidur.
Aku mengelap
dengan handuk berwarna putih yang tergantung di sebelah kananku, ku ambil
handuk kecil itu dan kucoba keringkan wajahku tadi. Begitu segar rasanya meski
mungkin aku masih sedikit sakit kepala, mungkin akibat minum wiski tadi malam. Aku
tak peduli. Akhirnya aku kembali ke kamarku, karena hari ini kapal akan merapat
di pelabuhan. Aku harus mengganti pakaianku dengan pakaian rapi, tentu saja
ibuku pasti akan sangat marah jika aku melakukan sedikit saja kesalahan
terhadap cara berpakaianku.
Aku pun membuka kopor yang berisikan semua
pakaianku, bentuknya yang seperti peti tua, dan sedikit lecet di sana sini. Aku
mengeluarkan baju kesanyanganku yang biasa aku pakai bila bertemu dengan Black.
Ny. Madelline yang telah membuatkan gaun indah ini, penjahit langganan ibuku. Roknya
berwarna hitam dengan motif bunga mawar berwarna merah menyala, bagian
belakangnya terlapis hijau dari kain saten dan berenda warna emas. Jelujur pita
di belakangnya juga berwarna hijau, dengan pita emas yang menggikutinya
panjangnya lebih dari tubuhku hingga menyapu lantai. Bagian atasnya berwarna
putih dengan rompi merah berlapis brookat hitam timbul, bagian depannya
berwarna putih polos berbahan sutra, dengan lipatan pita dan memanjang bank
rantai dari bagian yang menutup leher hingga bagian perut. Baju yang sungguh indah.
Baju itu aku
gantungkan di pinggir kaca dan akhirnya aku mulai memasang dalaman dan
korsetku, dengan bawahan gaun berbahankan tile berwarna putih, aku tak bisa
melakukan ini sendirian tentu saja aku harus
meminta bantuan maidku. Entahlah apa dia sudah bangun atau belum.
“Anne!.. Anne!!”
teriakku sedikit lembut. Aku pikir dia tidak akan mendengar, tapi rupanya dia
datang dengan cepat langsung membuka pintunya tanpa aku suruh. “Iya nona Clara,
ada perlu dengan diri saya?” ucapnya dengan nafas berat.
“Maaf merepotkanmu
Anne, aku butuh kau untuk membantuku memasang korsetku. Tapi aku minta, uh..
jangan terlalu ketat, pinggang dan dadaku sudah sakit sekali.” Ucapku lembut
padanya. “Tentu nona Clara! Akan saya lakukan”.
Anne mengambil
korset dan talinya lalu memasangkan benda itu ke badanku, aku berpegang pada
palang kayu di kamarku untuk menahan tarikannya. Dia mulai memasukan tali ke
lubang korsetnya dan mulai menariknya sedikit demi sedikit. Semakin ketat,
semakin ketat, dan semakin ketat. Aku berusaha bernafas semampuku. Setelah
dipasang selama lebih dari 25 menit aku siap memasang gaunku.
Anne mengambil
gaun yang sudah kukeluarkan dari kopor. Dia mengambilnya lembut, dia pisahkan
bagian bawah dan bagian atasnya, dia memberikan bagian bawahnya terlebih dahulu.
Aku pakai, dilanjutkan dengan bagian atasan, dan berakhir di bagian kain luar
bawahan dan rompi merah. Kukancingkan
satu per satu hingga selsai. Anne yang tetap membantuku memakaikan baju, dan
merapikannya. Akupun duduk di kaca dekat kasurku, sembari Anne menyisir rambutku dan aku memakai bedak. Anne pun
berkata padaku , “Nona, hari ini kita tiba di Newast. Apakah kita akan langsung
ke Vollaide ataukah kita berbelanja dulu di pelabuhan?” Sembari tetap menyisir rambut putihku yang
panjang. Aku tersenyum kecil pada Anne dan menjawabnya, “Entahlah Anne, itu
sulit diputuskan.” Sambil merapikan penampilanku.
“Maksud Nona
Clara?”
“Ya, keinginan ibu
itu sulit ditebak. Sebentar beliau ingin berbelanja, sebentar beliau ingin
pulang. Begitulah Nyonya besar Anne.” Jawabku.
“Benar nona Clara,
Nyonya Rose sangat sulit ditebak.” Dengan sedikit tertawa Anne menjawabnya.,
“Yang aku
khawatirkan Anne, jika dia tetap
memaksaku menikah dengan pria yang bernama Pierre itu. Aku tak cinta
padanya, aku malah jijik terhadapnya yang selalu menyombongkan kekayaan dan
jabatan, Anne!” sedikit keras aku menjawabnya. Anne tetap menyisir rambutku. Tapi
tiba-tiba gerakannya terhenti sejenak. Aku langsung melirik ke arahnya yang
berada di sebelah kiriku. Anne tersenyum
kecil dan menatapku sesaat, ia melanjutkan kembali kegiatan menyisir rambutku. Kemudian
dia berkata dengan nada yang amat lembut “Nona, memang mungkin harta memiliki
banyak kekuasaan. Namun ingatlah, harta tidak akan bisa membeli hal yang
bernama kasih sayang dan cinta.” Dia menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan
sisir berwarna emas itu di atas meja riasku. Tepat di depanku.
“Kau sudah cantik
nona Rose. Kapal akan merapat sebentar lagi, haruskah hamba membereskan
baju-baju ini?” Sambil menunjuk baju
yang berada di atas kasurku dan di atas kopor, memang sedikit berantakan,
karena aku memang orang yang terlalu malas untuk melakukan itu. Aku berdiri dari dudukku, dan aku merapikan
gaunku, seraya aku berjalan mendekati Anne. “Itu terserah denganmu Anne. Mungkin
masukanlah itu ke kopor, aku akan mencucinya bersamamu besok setibanya di
rumah.”
Anne terlihat
sibuk melipat rapi gaunku, aku hanya bisa merapikan ranjang tempat aku tidur
semalam. Aku yang masih bertelanjang kaki tetap merapikannya. Tiba-tiba derap
langkah kaki, seperti selop kayu yang sangat keras menghampiri kamarku, ibunda.
Dia datang dengan gaun berwarna ungu tua. Kain sutra yang dibalut dengan kain
sifon transparan, roknya menjuntai hingga menyapu lantai dengan warna senada. Sepatunya
terbuat dari kayu mahoni yang sangat indah ukirannya, dan rambutnya di ikat
kebelakang hingga memuncak tinggi dengan hiasan bulu merak di sebelah kanan
kepalanya. Ibuku bagai seorang ratu yang sangat berwibawa, padahal kami hanya
bangsawan biasa.
“Clara, sebentar
lagi kita sampai. Anne bawakan kopornya menuju depan dek utama, kita akan
keluar dari kapal busuk ini!” nadanya sinis. Aku langsung membungkuk dan
mencari sepatu ku yang sama persis dengan yang digunakan ibu tadi. Ada di bawah
ranjang tempatku tidur semalam, ku panjangkan lenganku ke kolong ranjang, dan
aku menemukannya masih bersih dan tak berdebu sedikitpun. Kupakai selop itu dan
memasang korsase bunga mawar pemberian almarhum ayahku Camelon Rose. Aku
akhirnya siap menuju keluar dari kamarku, Anne membawa koporku dengan
menariknya dari sisi kanan, dan ia terus membawa koporku, hingga aku tak
melihatnya di lorong depan kamarku.
Aku keluar dari
kamarku dana aku menutup pintu kamarku. Aku berjalan lurus melewati lorong
menuju deck utama keluar dari kapal. Ada beberapa anak tangga yang akan kami
lewati saat akan keluar dari kapal.
Beberapa menit aku
melihat para kuli angkut keluar dan bekerja mengangkat barang. Pakaiannya lusuh
dan rata-rata berwarna putih kusam. Celananya pendek berbahan kulit, dan hanya
menggunakan sandal. Lari kesana kemari,
dan terus mengangkut barang dan peti kemas. Aku dan ibuku menunggu di depan
pintu keluar, kapal ini mulai tidak banyak bergoyang lagi. Seorang kru kapal
membuka pintu nya dan kami dapat melihat pemandangan Pelabuhan Newast dari sini.
Aku tak sabar dapat merasakan jalan di tanah .
PART 1 END
1 komentar:
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Posting Komentar